menu melayang

PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF HADIS

A.     Pengertian Kewirausahaan

Wirausaha berasal dari kata wira dan usaha, wira artinya perwira, utama, teladan, berani dan usaha artinya bisnis komersil maupun non komersil. Kewirausahaan merupakan sikap mental yang berani menanggung resiko berpikiran maju berani berdiri diatas kaki sendiri.[1]

Wirausaha berasal dari kata Enterpreneurship yang artinya suatu kemampuan (ability) dalam berfikir kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak tujuan, siasat/kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.[2] penciptaan sesuatu yang baru atau inovasi guna memperoleh kesejahteraan atau kekayaan individu dan mendapatkan nilai tambah bagi masyarakat.

Peter F. Drucker berpendapat berwirausaha kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda-beda. pengertian ini mengandung maksud bahwa berwirausaha adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Sementara itu, Zimmerer mengartikan kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan.[3]

Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (creative new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang dalam menghadapi tantangan hidup. pada hakekatnya, kewirausahaan adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan yang inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif.

Dalam pandangan kemendiknas, kewirausahaan merupakan suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sangat bernilai dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Kewirausahaan adalah sikap mental dan jiwa yang selalu aktif dan kreatif, berdaya, bercipta, berkarya dan berusaha dalam rangka meningkatkan pedapat dari kegiatan usahanya. Adapun Entrepreneur diartikan sebagai orang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya untuk mencapai prestasi hidup.[4]

Penelusuran konsep kewirausahaan melalui analisa keterkaitan ajaran Islam dengan kewirausahaan dapat ditelusuri dengan merujuk pada kata atau kalimat yang dipakai al-Qur‟an dan al-Hadis yang relevan dengan kewirausahaan. Dalam hal ini ada beberapa kata, seperti al-„amal, al-kasb, al-fi‟il, as-sa‟yu, annashru, dan ashsa‟n. Kata-kata tersebut tidak ada yang secara jelas menunjukkan arti kewirausahaan, namun dengan mengkomparasikan antara makna, maka karakter kewirausahaan bisa ditemukan. Meskipun masing-masing kata memiliki makna dan implikasi berbeda, secara umum deretan kata-kata tersebut berarti bekerja, berusaha, mencari rezeki, dan menjelajah (untuk bekerja).[5]

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa terdapat banyak keragaman definisi tentang Kewirausahaan. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena konsep kewirausahaan itu sendiri merupakan konsep ilmu sosial yang bersifat dinamis, dan akan selalu mengalami perubahan seiring daya perkembangan ilmu itu sendiri. Namun demikian, yang dapat ditarik kesimpulan tentang definisi Kewirausahaan yaitu, kewirausahaan diartikan sebagai sebuah proses yang menyertai suatu usaha dimana sang enterpreuner siap menanggung segala resiko, berikap responsif, kreatif dan inofatif, melaksanakan managemen yang baik, serta berfikir kemanfaatan bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk orang lain. 

B. Internalisasi Nilai-Nilai  Kewirausahaan Melalui Pendidikan

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Pemerintah menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus diupayakan untuk ditingkatkan secara terus menerus. Melalui gerakan ini diharapkan karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh, dan mandiri. Menurut pendapat Suherman  hal itu sangat penting mengingat bahwa sebenarnya aktivitas kewirausahaan tidak hanya berada dalam tataran mikro ekonomi.

Hingga saat ini upaya tersebut masih berlangsung, karena kegiatan yang bercirikan kewirausahaan tidak hanya terbatas dalam bidang bisnis dengan tujuan mencari laba. Yang membuat kewirausahaan menjadi menarik banyak pihak untuk memahaminya ialah kontribusi istimewa yang dihadirkan oleh mereka yang melakukan tindakan yang terkait dengan kewirausahaan.

Pemerintah telah berupaya untuk memasyarakatkan kewirausahaan, namun upaya tersebut belum membawa pengaruh yang signifikan karena masih banyak penduduk yang tidak produktif setiap tahun. Hal itu memunculkan pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan pelaksanaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan apa dampak dari program itu.

Integrasi pendidikan kewirausahaan yang dilakukan saat ini merupakan momentum untuk revitalisasi kebijakan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, mengingat jumlah terbesar pengangguran terbuka dari tamatan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Data pengangguran terbuka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2009) menunjukkan bukti masih banyak penduduk yang perlu ditingkatkan produktivitasnya. Apabila tidak ada penanganan yang serius terhadap masalah ini bukan tidak mungkin angka pengangguran akan terus meningkat setiap tahunnya.

Dalam konteks ini, pendidikan kewirausahaan harus mampu mengubah pola pikir para peserta didik sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasmir bahwa pendidikan kewirausahaan akan mendorong para pelajar dan mahasiswa agar memulai mengenali dan membuka usaha atau berwirausaha. Pola pikir yang selalu berorientasi menjadi karyawan diputarbalik menjadi berorientasi untuk mencari karyawan. Dengan demikian kewirausahaan dapat diajarkan melalui penanaman nilai-nilai kewirausahaan yang akan membentuk karakter dan perilaku untuk berwirausaha agar para peserta didik kelak dapat mandiri dalam bekerja atau mandiri usaha. Hal yang tidak bisa dilupakan dan dirasakan sangat penting dalam konteks pendidikan yang berwawasan kewirausahaan di sekolah yaitu bahwa Kementerian Pendidikan Nasional juga perlu membuat kerangka pengembangan kewirausahaan yang ditujukan bagi kalangan pendidik dan kepala sekolah. Mereka adalah agen perubahan di tingkat sekolah yang diharapkan mampu menanamkan karakter dan perilaku wirausaha bagi jajaran dan peserta didiknya. Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan ditandai dengan proses pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah.

Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter termasuk karakter wirausaha peserta didik sesuai tujuan pendidikan dapat dicapai.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter termasuk karakter wirausaha dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Di samping itu pendidikan kewirausahaan dapat juga diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan pendidikan kewirausahaan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Jika ingin mendapatkan file yang dilengkapi dengan pemformatan Artikel Ilmiah, dilengkapi Pendahuluan, Daftar Isi, Footnote, dan Daftar Pustaka, dapat di download DI SINI

Pendidikan kewirausahaan, dilihat dari siapa yang bertanggung jawab banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan kewirausahaan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Guruvalah 2003 :1). Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian. Pertama, pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat). Dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, sasaran pendidikan kita adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Pada umumnya sekolah sebagai lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pembentukan sikap dan keterampilan bagi peserta didik termasuk sikap mental wirausaha.

Dalam praktik di sekolah, untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan pada peserta didik ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

1) pembenahan dalam Kurikulum

2) peningkatan peran sekolah dalam mempersiapkan wirausaha

3) pembenahan dalam pengorganisasian proses pembelajaran

4) pembenahan pada diri guru

Keberhasilan program pendidikan kewirausahaan dapat diketahui melalui pencapaian kriteria oleh peserta didik, guru, dan kepala sekolah yang antara lain meliputi:

1)  Peserta didik memiliki karakter dan perilaku wirausaha yang tinggi

2)  Lingkungan kelas yang mampu mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai kewirausahaan yang diinternalisasikan

3)  Lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang bernuansa kewirausahaan.


Model Pendidikan Kewirausahaan Pada Setiap Satuan pendidikan dapat digambarkan dalam ilustrasi berikut:


 C. Nilai-nilai Kewirausahaan dalam Hadis Nabi

Kewirausahaan identik dengan ikhtiar atau usaha. Usaha dalam konteks kewirausahaan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri secara pribadi, tetapi juga diproyeksikan dapat memenuhi atau memberikan manfaat bagi kebanyakan orang. Kreatif, inovatif, kerja keras, disiplin, independensi dan memiliki komitmen tinggi terhadap usaha merupakan karakteristik yang mesti ada pada seorang pengusaha atau enterpreneur.  Beberapa karakteristik tersebut melekat pada pelaku usaha yang melakukan wirausaha. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut tidak bisa direkayasa, tetapi melekat pada jiwa atau sudah menjadi mental yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan usaha. Kewirausahaan merupakan sikap mental yang dicirikan pada nilai-nilai yang telah dijelaskan sebelumnya.[6]

Ali Aslan Gumusay menjelaskan bahwa kewirausahaan bukan sekedar konsep sederhana dan normatif, tetapi ia merupakan kemampuan mental dalam membaca peluang dan mengakomodasi berbagai peluang, baik dari sumber daya yang ada maupun pemberdayaan berbagai nilai, norma dan perilaku terpuji. Dalam Islam, kewirausahaan tidak hanya diorientasikan pada keuntungan atau profit, tetapi juga terkait dengan upaya memuliakan manusia sebagai khalifah Tuhan dan mencapai keridahan Allah.[7] Pendapat yang dikemukakan Ali Aslan Gumusay tersebut mengisyaratkan bahwa kewirausahaan tidak bisa sebagai pencitraan semata atau sekedar gaya hidup, tetapi ia merupakan sebuah potensi yang memang sudah melekat dalam diri seseorang. Karena kewirausahaan dipahami sebagai sikap mental yang tentu sudah menjadi mendarah daging dalam diri seseorang sangat memungkinkan kewirausahaan tersebut bisa menjadi stabil, atau bahkan bisa dikembangkan lebih maju agar dapat memberikan manfaat yang lebih luas.

Nilai-nilai kewirausahaan tidak hanya diperoleh dari Alquran sebagai sumber konseptualnya, tetapi dalam sejumlah hadis Rasulullah juga bisa ditemukan nilai-nilai yang menjadi landasan kewirausahaan. Hadis Nabi menjadi landasan konseptual dalam memberikan penguatan atau penegasan terhadap dunia kewirausahaan, baik dari dari sisi karakteristik, orientasi, atau bahkan tujuan kewirausahaan.

Berbicara tentang pendidikan kewirausahaan dalam perspektif hadis, tentu saja Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah acuan utamanya. Ini berarti meniscayakan kita umat Islam untuk kembali menelaah sejarah agung Nabi Muhammad SAW, bukan saja dikarenakan Rasulullah adalah pembawa risalah keislaman. Namun sejarah kehidupan beliau yang sangat kental dengan nilai-nilai dan perilaku kewirausahaan menjadikannya sangat layak untuk dijadikan acuan dan panutan umat, terutama dalam pendidikan kewirausahaan.

Jiwa kewirausahaan nabi Muhammad merupakan hasil dari proses panjang dari semenjak beliau masih kecil. Jauh sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau sudah dikenal sebagai pedagang. Mulai sejak kecil beliau menunjukkan kesungguhannya terjun dalam bidang bisnis atau kewirausahaan. Beliau mulai merintis karir dagangnya saat berusia 12 tahun dan mulai usahanya sendiri ketika berusia 17 tahun. Profesi sebagai pedagang terus dilakukan sehingga beliau berumur 37 tahun (3 tahun sebelum beliau diangkat rosul). Hal ini menjelaskan bahwa nabi Muhammad memenuhi dunia bisnis (kewirausahaan) selama kurang lebih 25 tahun, lebih lama dari masa kerasulan beliau yang berlangsung 23 tahun.[8]

Terjunnya nabi Muhammad SAW dalam kewirausahaan sejak kecil tidak lepas dari kenyataan hidup yang menuntut beliau untuk belajar mandiri. Kelahiran beliau yang dalam keadaan yatim, umur 6 tahun menjadi yatim piatu, kondisi paspasan ekonomi. Pamannya yaitu Abu Thalib yang mengasuh beliau, setelah kakeknya Abdul Mutholib, yang mengasuh sebelumnya juga meninggal. Itulah yang mendorong beliau untuk berusaha meringankan beban ekonomi sang paman. Untuk itu nabi Muhammad dalam keadaan umurnya yang masih belia, mau melakukan apa saja yang halal untuk memperkecil ketergantungannya kepada sang paman. Tatkala beliau mampu bekerja sendiri, beliau mengembala kambing milik penduduk Makkah dan menerima upah atas jasanya itu.

Kegiatan mengembala kambing mengandung nilai-nilai yang luhur, pendidikan rohani latihan merasakan kasih sayang kepada kaum lemah, serta kemampuan mengendalikan pekerjaan berat dan besar. Ketika merintis karir didunia binis, Nabi Muhammad SAW mulai berdagang kecil-kecilan di kota Mekkah. Ia membeli barang-barang dari suatu pasar lalu menjualnya kepada orang lain. Nabi Muhammad juga menerima modal dari para Investor dan anakanak yatim tidak sanggup menjalankan sendiri dana peninggalan orang tuanya, mereka sangat mempercayai nabi Muhammad untuk mengelola bisnis dengan uang mereka berdasarkan kerja sama Mudharoboh.[9]

Seseorang yang berwirausaha mempunyai jiwa untuk berkarya dan biasanya mereka mempunyai karakter wirausahawan yang melekat pada dirinya, seperti Aktif, proaktif, produktif, pemberdaya, [10] dermawan, kreatif, inovatif, rendah hati, dan sifat baik lainnya.[11] berikut ini akan dipaparkan beberapa hadis nabi yang menjadi entry point pembahasan pendidikan kewirausahaan dalam perspektif hadis yang menggambarkan nilai-nilai kewirausahaan :

1.   Bekerja keras dan larangan meminta-minta

Dalam Hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah menggambarkan tentang keharusan bekerja keras dan larangan meminta-minta sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَه [12] 

 

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia mendatangi seseorang lalu meminta kepadanya, baik orang itu memberi atau menolak".

 

Kemandirian bekerja keras merupakan spirit mengoptimalkan potensi diri untuk melakukan sebuah usaha. Spirit kemandirian bekerja keras dengan sendirinya dapat menghambat seseorang untuk meminta-minta atau bergantung pada orang lain tanpa melakukan usaha. Setiap orang pada dasarnya memiliki kekurangan dan kelebihan, tetapi kekurangan yang ada pada manusia bukan alasan untuk meminta-minta. Meminta-minta adalah simbol dari kemalasan, di samping sebagai sikap tidak yakin dengan kemampuan yang ada dalam diri. Di sisi lain, meminta-minta bukan hanya terkait dengan menjatuhkan diri sendiri, tetapi juga akan mencemari perbuatan baik orang miskin atau bahkan merampas hak orang yang berhak dengan harta tersebut. Yazic bin Abdul Qadir Jawas mengatakan bahwa perilaku meminta-minta yang dilakukan seseorang dapat merusak citra baik orang miskin yang memang dalam kehidupannya memiliki prinsip tidak mau meminta-minta.[13]

Penilaian Rasulullah terhadap seorang laki-laki yang memikul kayu bakar di punggungnya merupakan pribadi yang lebih baik dari orang yang meminta-minta merupakan karakter yang penting dalam praktek kewirausahaan. Di tengah-tengah persaingan bisnis yang semakin kompetitif, maka kemandirian bekerja kerjas menjadi sangat penting sebagai etos dalam menata kewirausahaan yang lebih baik.

2.   Kreatif dan Inovatif

Kreatif dan inovatif merupakan dua karakter yang harus dibangun dalam melakukan kewirausahaan. Dua istilah ini menjadi gambaran seseorang yang bisa menciptakan dan lebih mengembangkannya agar usahanya menjadi lebih stabil. Dalam dunia wirausaha kreatif dan inovatif menjadi urgen untuk menjadikan usaha lebih stabil atau bahkan lebih berkembang dan maju.

Sebagai landasan konseptual keharusan untuk bersikap kreatif dan inovatif tersebut dapat dilihat dalam hadis Nabi sebagai berikut:

عَنْ عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ . أخرجه البيهقى

“Dari ‘Ashim Ibn ‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai orang mukmin yang berkarya.” (H. R. Al-Baihaqi).

Hadis di atas memberikan gambaran tentang upaya untuk memiliki kemampuan dalam menciptakan dan mengembangkan kegiatan bisnis atau usaha. Berkarya mengisyaratkan adanya kemampuan atau skill seseorang dalam menciptakan berbagai peluang usaha. Di samping kemampuan untuk menciptakan suatu usaha, kreatif dan inovatif juga berarti adanya kemampuan seseorang untuk memiliki kemampuan membaca peluang dan tantangan usaha yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting agar setiap usaha atau bisnis dapat senantiasa relevan dengan pasar dan kebutuhan masyarakat pada umumnya. A. Rusdiana mengatakan bahwa kreatif dan inovatif merupakan sikap mental yang penting untuk dibangun terhadap setiap pengusaha untuk membaca setiap peluang yang lebih luas dan mengeksploitasi berbagai peluang, kesempatan dan sumber daya agar dapat mencapai tujuan usaha.[14]

3.       Aktif

    Aktif merupakan gambaran sikap mental seseorang yang cenderung memiliki keinginan untuk merespon berbagai keadaan. Dalam konteks ekonomi, aktif berarti sebuah karakter untuk menjemput atau mencari berbagai peluang yang dapat menciptakan dan mengembangkan usaha. Islam mendorong umatnya agar bersifat aktif, bekerja keras, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Islam sangat menghargai bahkan mengistimewakan orang islam yang memiliki karakter-karakter diatas. Allah SWT berfirman :

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ - ١٠٥

"Dan Katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan'." (QS. At-Taubah: 105)

 Nabi juga bersabda sebagaimana riwayat Ahmad :

سئل عن النبي عن أفضل الكسب فقال : بيع مربور وعمل الرجل بيده (رواه أحمد)

 

            Artinya: “Nabi ditanya tentang pekerjaan yang lebih utama, kemudian beliau bersabda: 'jual beli yang dilakukan secara jujur dan pekerjaan dari hasil kerja kerasnya sendiri'

 

Hadis di atas menjadi landasan konseptual untuk mensifati diri dengan karakter jujur dan kerja keras. Keduanya sifat tersebut menjadi sifat yang dapat memberikan jaminan bagi keberlangsungan sebuah usaha. 

Jika ingin mendapatkan file yang dilengkapi dengan pemformatan Artikel Ilmiah, dilengkapi Pendahuluan, Daftar Isi, Footnote, dan Daftar Pustaka, dapat di download DI SINI

4.       Profesional

    Profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan dengan tekun, ulet, bersungguh-sungguh dan memperhatikan kualitas dan hasil.

Hal ini berkorelasi dengan ayat al-Qur‟an:

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا - ٨٤

Artinya: "Katakanlah: 'Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing- masing'. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." (QS. Al-Isra‟: 84) adapun nilai-nilai profesionalitas dapat ditemukan dalam hadits Nabi :

من وَلى من أمر المسلمين شيئا  قول رجًل وهو أصلح منو فقد خان الله ورسوله (رواه اْلحاكم)

Artinya: "Barang siapa melimpahkan satu persoalan kaum muslimin kepada seorang (yang tidak profesional), sedang disana masih ada yang lebih profesional, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasulnya"[15]

 Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa kita diciptakan untuk berkompetensi dalam kebaikan baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Untuk itu seseorang harus senantiasa produktif, karena tanpanya kompetisi itu tidak ada. Selain itu untuk menciptakan budaya kompetensi yang dinamis, maka Islam tidak membatasi produktivitas itu pada satu bidang, namun produktivitas itu digalahkan dalam bidang apapun sepanjang itu dibenarkan oleh syariat. Disinilah kebebasan berproduksi, dalam bidang apapun dijamin dalam Islam.

5.          Mandiri

عن المقدام بن معديكرب رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ما أكل احد طعام قط خيرا من ان يأكل من عمل يده وإن نبي صلى الله عليه وسلم كان يأكل من عمل يده. رواه البخاري)

 

Artinya: “Dari Al-Miqdam RA., dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: “seseorang yang makan hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Daud AS., makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari).[16]

 Hadis di atas berisi anjuran makan dari hasil usaha sendiri. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidup dengan jalan apapun menurut kemampuan asal jalan yang ditempuh itu halal. Penjelasan hadits di atas bahwasanya nabi Daud AS. di samping sebagai Nabi dan Rasul, juga seorang raja. Diceritakan dalam hadits nabi SAW., bahwa apa yang dimakan oleh nabi Daud AS. adalah jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu sehingga dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari.[17]

     Hadis diatas menunjukkan bahwa bekerja atau berusaha merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Dalam Islam bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya dalam Islam bekerja menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Orang yang bekerja/berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk mencukupi kebutuhannya sendiri maupun keluarga dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Dawud (salah satu pengrajin daun kurma untuk di buat keranjang atau lainnya). Dalam hadis yang diriwayatkan Hakim, Nabi Dawud juga dikenal sebagai pembuat besi. Nabi Idris (penjahit yang selalu menyedekahkan kelebihan dari hasil usahanya setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat sederhana). Nabi Zakariya dikenal sebagai tukang kayu. Adapun Nabi Musa adalah seorang penggembala.[18]

   Orang yang beriman dilarang bersikap malas, berpangku tangan, dan menunggu keajaiban datang menghampirinya tanpa adanya usaha. Allah menciptakan alam beserta isinya diperuntukkan bagi manusia, namun untuk memperoleh manfaat dari alam ini, manusia harus berusaha dan bekerja keras

    Bekerja bagi setiap orang merupakan satu kebutuhan, tidak hanya sekedar kewajiban. Hal itu dikarenakan salah satu fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah bekerja. Bekerja merupakan salah satu upaya setiap manusia dalam rangka memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja menurut Islam merupakan salah satu ajaran terpenting yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Bekerja sebagai sarana mencukupi kehidupan hidup dalam pandangan Islam dinilai sebagai ibadah, yang disamping hal itu dapat mendatangkan keuntungan berupa materi sebagai hasil secara fisik, maupun akan mendapatkan keuntungan berupa pahala.

    Dengan adanya anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Jalan mendapatkan pekerjaan adalah bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan tersebut harus halal dan sesuai dengan landasan syari‟ah Islam. Hal itu harus menjadi pegangan bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti. Tanpa hal itu, maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan barokah. Dan tentunya jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan dan ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.[19]

6.   Keseimbangan Dunia dan Akhirat

    Keseimbangan dunia dan akhirat menjadi salah satu karakter kewirausahaan dalam menciptakan dan mengembangkan usaha. Keseimbangan dunia dan akhirat menggambarkan sikap untuk mencapai kepentingan dunia dan akhirat. Karenanya, kewirausahaan bukan sekedar untuk mendapatkan dan berorientasi pada keuntungan dan kepentingan dunia semata, melainkan didedikasikan juga untuk kepentingan kehidupan akhirat. Bila kewirausahaan untuk mendapatkan profit, maka profit tersebut harus memiliki dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Memaknai kewirausahaan sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat merupakan salah satu kearifan seorang muslim, sehingga kewirausahaan dianggap bukan sekedar aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas untuk mempersiapkan kehidupan akhirat.

Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada surat al-Qashshs ayat 77 sebagai berikut:

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan

           Hadis Anas bin Malik menjadi salah satu landasan konseptual tentang perlunya orientasi keseimbangan dunia dan akhirat dalam mencitakan dan mengembangkna kewirausahaan.

 عَنْ أَنَسَ بْنِ مَلِكٍ قَالَ ، قَالَ رَسُلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلا آخِرَتُهُ لِدُنْيَاهُ حَتىَّ يُصِيْبُ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَ بَلاغٌ إِلَى الآخِرَةِ وَلاَتَكُوْنُوْا كلاَّ عَلَى النَّاس ( رواه الديلمي وابن عساكر(

Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: bukankah orang yang paling baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain. (H.R. Ad Dailamy dan Ibnu Asakir)

             Prinsip keseimbangan dalam hadis di atas mengisyaratkan pentingnya kehidupan akhirat, namun bukan berarti meninggalkan kepentingan dunia. Perpaduan antara mengejar kepentingan dunia dan akhirat merupakan bentuk keseimbangan yang bisa dijadikan sebagai landasan konseptual dalam menata dan menentukan arah kewirausahaan. Kewirausahaan bukan hanya untuk mengejar profit kehidupan dunia, tetapi juga sebagai bentuk ikhtiar untuk mempersiapakan kehidupan akhirat.

              Keseimbangan dalam prinsip kewirausahaan dimaknai dalam konteks umum. Tidak hanya dalam konteks dunia dan akhirat, tetapi juga dipahami dalam konteks antara kepentingan individu dan sosial. Dalam konteks sosial, kewirausahaan juga dapat dimanfaatkan dalam konteks menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan sosial. Dalam hal kepentingan sosial, kewirausahaan menjadi sebuah instrumen untuk  saling membantu memberikan keuntungan dalam kehidupan sosial. Hal ini menjadi sangat wajar, sebab manusia dalam kehidupannya akan tetap membutuhkan orang lain dan memerlukan bantuan orang lain.[20] Untuk menempatkan kewirausahaan dalam orientasi dunia dan akhirat, maka penciptaan dan pengembangan kewirausahaan tidak hanya didedikasikan sekedar mengumpulkan profit atau keuntungan secara ekonomis, tetapi juga memiliki oritentasi empati terhadap problem sosial yang ada di sekitar kehidupan. Menempatkan sikap empati terhadap problem sosial ini salah satu sikap menempatkan kewirausahaan pada upaya untuk menyiapkan kehidupan akhirat.

7.   Jujur

            Jujur merupakan sikap mental yang mesti dimiliki oleh seorang pengusaha. Dalam proses berwirausaha seseorang tidak bisa berbuat sesuai dengan kehendak sendiri yang dapat merugikan orang lain. Karena itu, berwirausaha tidak boleh ada penipuan yang berujung pada kerugian pada orang lain.

Rasulullah bersabada sebagai berikut:

عَن عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ أَن رَجُلا ذَكَرَ للنبي صلى الله عليه وسلم اَنهُ يُخْدَعُ فى البيوعِ فَقَالَ اِذَا باَيَعتَ فَقُل لاَ خِلاَبَة

Artinya: Dari Abdullah bin Umar r.a., katanya: “Seorang laki-laki bercerita kepada rasulullah saw. Bahwa dia ditipu orang dalam hal jual beli. Maka sabda beliau, “Apabila engkau berjual beli, maka katakanlah: Tidak boleh ada tipuan”.[21]

Berdasarkan hadis Nabi di atas, dalam proses transaksi dalam jual beli atau berwirausaha tidak dibenarkan untuk melakukan praktek penipuan. Hadis ini memberikan tuntutan untuk melakukan proses berwirausaha dengan jujur. Kejujuran menjadi sikap mental untuk melakukan proses wirausaha sesuai dengan tuntunan agama atau sejalan dengan landasan konseptual; al-Quran dan Hadis Nabi.

Dalam Islam kejujuran atau jujur merupakan karakter mulia yang dapat mengangkat derajat seorang muslim. Kejujuran tidak lahir dari sikap orang lain, tetapi kejujuran merupakan sikap batin yang merasa dilihat oleh Allah. Karena itu, dasar kejujuran bukan karena diketahui oleh orang, tetapi sikap merasa diperhatian dan dilihat oleh Allah. Dengan demikian, kejujuran atau jujur yang dimaksud adalah jujur kepada Allah swt.

Jika ingin mendapatkan file yang dilengkapi dengan pemformatan Artikel Ilmiah, dilengkapi Pendahuluan, Daftar Isi, Footnote, dan Daftar Pustaka, dapat di download DI SINI

Back to Top

Cari Artikel

Pengunjung Bulan Ini

x
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu
Konfirmasi
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu